Tuesday, May 09, 2006

Pajak di sana... Pajak di sini...

Di tengah kemacetan jalan tol sabtu malam lalu, sebuah bis kota melintas perlahan di sebelah mobil saya. Di seluruh badan bis kota itu terpampang iklan Pajak dengan tulisan yang besar-besar dan model iklan yang juga berbadan besar memakai jas sedang menelepon. Kalau tidak ada tulisan besar-besar itu, mungkin orang akan mengira itu iklan handphone.

Sampai sekarang saya masih mengira-ngira “Apa ya maksud dari iklan tersebut?” Apakah iklan tersebut ingin mengatakan bahwa
sebagian besar pengusaha di Indonesia kebanyakan gendut dan keturunan Chinese?

Atau, Pengusaha yang Taat Pajak tetap hidup makmur dengan badan yang gendut walaupun jadi tidak mampu mengganti model handphone Nokia terbaru?

Di perempatan atau persimpangan jalan, sering juga terlihat iklan Pajak yang tulisannya menurut saya sama sekali tidak menarik pagi para Wajib Pajak. Salah satu contoh tulisan itu adalah “Orang Bijak Taat Pajak”. Atau “Wujudkan Masyarakat Sadar dan Peduli Pajak”.

Saya menjadi terpancing untuk memperhatikan kalimat-kalimat yang dibuat oleh Dirjen Pajak sebagai iklan untuk mengajak para Wajib Pajak membayar kewajibannya yang dipasang di berbagai tempat. Tetapi, satupun saya tidak merasakan sebuah “panggilan” yang sanggup membuat saya sadar bahwa membayar pajak itu adalah suatu kewajiban bagi Warga Negara Indonesia.

Di tengah-tengah gencarnya Dirjen Pajak menggenjot target pencapaian jumlah pemegang NPWP, banyak orang yang sama sekali tidak mengerti bagaimana prosedur pembayaran pajak sebagai pemegang NPWP. Orang-orang yang sama sekali tidak mengerti soal NPWP ini tiba-tiba saja dikirimi NPWP. Sepertinya Dirjen Pajak hanya mengejar target dan tidak peduli apakah nantinya malah akan kerepotan dengan banyaknya administrasi yang harus diurus hanya karena para pemegang NPWP baru tidak tahu untuk apa mereka dikirimi NPWP, akibatnya hanya akan memperpanjang daftar Penunggak Pajak.

Salah satu contohnya adalah seperti di bawah ini :

KOKO (54), warga Kp. Bojongkoneng Kel. Campaka Kec. Andir Kota Bandung memperlihatkan surat dari Dirjen Pajak, Senin (5/12). Ia mengaku heran dengan datangnya surat itu karena tak tahu pajak apa yang harus ia lunasi. Selama enam tahun terakhir, dirinya tak lagi bekerja. Sementara, istrinya hanya berprofesi sebagai tukang pijat.

Dan masih banyak lagi KOKO yang lain yang juga kebingungan dengan datangnya NPWP ke alamat mereka.

Sebenarnya, tanpa NPWP pun, dalam kehidupan kita sehari-hari kita sudah harus membayar Pajak. Ketika kita berbelanja di Supermarket pasti akan ada tulisan “belum termasuk PPN” atau setiap kita melakukan transaksi yang berhubungan dengan perpindahan uang, pasti kita akan dikenakan Pajak.

Kita bekerja di suatu kantor pun sudah harus membayar Pajak yang dipotong dari gaji kita setiap bulannya.

Bahkan kalau kita masuk ke website Dirjen Pajak, tidak ada juga penjelasan mengenai “Apa sih Pajak itu?”

Tidak ada juga alasan yang tepat mengapa kita harus membayar Pajak? Lalu, dikemanakan uang yang kita bayarkan kepada Kantor Pajak? Dipergunakan untuk apa saja uang kita? Kalau dipergunakan untuk pembangunan Negara tercinta ini, mana hasilnya? Apakah semua warga Negara sudah merasakan manfaatnya? Dan apakah masyarakat juga mendapat laporan balik atas pemakaian uang yang sudah kita setorkan sebagai pajak?

Herannya lagi, kenapa sih Peraturan Perpajakan harus dibuat serumit mungkin? Peraturan Perpajakan yang rumit ini selalu menimbulkan celah bagi Petugas Pajak untuk mengeruk keuntungan dari Wajib Pajak yang diinginkannya.

Dari dulu sampai sekarang, Pajak selalu membuat pusing orang yang mempunyai NPWP. Undang-undang Perpajakan yang bisa dimulti-tafsirkan juga membuat para Wajib Pajak bingung ketika harus mengisi Laporan SPT sehingga muncullah Konsultan Pajak yang menuai keuntungan dari kebingungan penerjemahan Undang-undang Perpajakan yang dibuat oleh Pemerintah.

Iklan Pajak yang dipasang di sana-sini sungguh tidak mengenakkan untuk dibaca. Seharusnya pemasang iklan bukan menggurui masyarakat, akan tetapi menimbulkan iklim kebersamaan di masyarakat yang membuat masyarakat terketuk hatinya untuk dengan suka rela membayar Pajak.

Ngomong-ngomong soal kerelaan membayar Pajak, walaupun itu katanya kewajiban setiap warga Negara yang mampu, tetap saja rasanya sesak bila harus menyetorkan Pajak tersebut.

Tanpa mempunyai NPWP pun sebenarnya kita sudah selalu dikenai “Pajak”. Yang saya tahu, pembayaran gaji Pegawai Negeri diambil dari Pajak yang dibayarkan oleh Warga Negara. Akan tetapi, pada kenyataannya, hampir semua urusan yang berhubungan dengan Pegawai Pemerintah, buntut-buntutnya selalu harus ada biaya lebih yang masuk ke kantong pribadi Pegawai Pemerintah ini. Kalau urusan mau lancar, sediakan dulu pelicinnya. Kalau tidak, jangan harap urusan anda akan selesai tepat pada waktunya.

Dulu saya mengira omongan seperti itu hanya omongan miring orang-orang yang tidak suka kepada birokrasi pemerintah. Akan tetapi, kenyataannya setelah saya sendiri mengalaminya, saya sangat percaya bahwa segala urusan yang menyangkut pegawai pemerintah, tidak pernah tanpa “pajak”. Fiuuuh…

Jadi, sudahkah anda menjadi pembayar pajak yang taat? Hehehe… Kata "taat" ini sepertinya bikin sakit kuping. Dirjen Pajak, bisakah kalian membuat iklan yang benar-benar mengena dan menggugah hati masyarakat? Selain soal iklan, rasanya Dirjen Pajak bukan hanya perlu membenahi system data bank mereka, akan tetapi juga perlu mengganti para pejabatnya yang dengan senang hati menjadi lintah darat dengan tujuan memperkaya diri mereka sendiri!

1 comment:

Anonymous said...

Goresan hati dan tangan Anda menjadi cambuk bagi saya untuk bekerja accountability, accurately, dan profesional sebagai fiskus. Sebagian interpretasi Anda betul, sebagian lagi keliru. Sebagai contoh, gambar orang besar dalam billboard pajak itu, bukan chinese, tapi bataknese ..he..he. Oia namun rasanya tidak fair kalo hanya melihat dari satu sisi, bahwa saya masih melihat adanya perubahan yang lebih baik. sukses.. -jupri@lycos.com